Membuka Cakrawala Pandang Judul Buku : Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam Penulis : Dr. Mulyadhi Kartanegar...
Membuka Cakrawala Pandang
Penulis : Dr. Mulyadhi Kartanegara
Penerbit : Mizan, Bandung
Tahun Terbit : 2003
Tebal Halaman : 188
Halaman Tambahan : i - xxxvi
Total Halaman : 224
ISBN | 9794333301
Peresensi : Mukhsinin
SEBAGAI kajian filosofis, epistemologi (teori pengetahuan) secara umum belum mencapai tingkat kajian yang memadai di negeri ini. Meskipun demikian, harus diakui bahwa kajian epistemologi dan filsafat ilmu (epistemologi Barat) secara umum sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kajian epstemoligi Islam. Sehingga tidak mengherankan jika wacana ilmiah begitu didomonasi oleh Barat, dan kebanyakan sarjana kita hanya mengerti teori ilmu pengetahuan Barat jarang sekali yang dengan serius mendalami teori-teori ilmu pengetahuan Islam.
Akhirnya, saya telah selesai membaca seluruh isi salah satu buku karya Profesor Mulyadhi Kartanegara. Buku yang saya baca ini sebenarnya bukan buku baru. Karena buku ini terbit pada tahun 2003. Buku ini tidak begitu tebal, namun banyak hal menarik yang dibahas di dalamnya. Total keseluruhan bab yang dibahas mencapai 14 bab, mulai dari bab Sains, Ilmu dan Opini hingga bab Islamisasi Sains. Untuk memberikan sedikit gambaran kepada para pembaca, saya akan mencoba memaparkan potongan-potongan bab dalam buku ini.
Pada bab pertama , tema yang dibahas adalah Sains, Ilmu dan Opini . Bab ini menjadi begitu penting, karena akan menjadi pondasi awal pemahaman para pembaca sebelum melanjutkannya ke tema-tema berikutnya. Menurut Pak Mulyadhi, istilah ilmu dalam epistemologi Islam memiliki kemiripan dengan istilah science dalam epistemologi Barat. Sebagaimana sains dalam epistemologi Barat dibedakan dengan knowledge, ilmu dalam epistemologi Islam dibedakan dengan opini (ray) sementara sains dipandang sebagai any organized knowledge, ilmu didefinisikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya.
Dengan demikian istilah ilmu bukan sembarang pengetahuan atau opini melainkan pengatahuan yang sudah teruji kebenarannya, dan Mulyadhi mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya. Ilmu dalam kajian epistemologi Barat penerapannya dibatasi pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan dalam epistemologi Islam ia dapat diterapkan dengan sama validnya baik ilmu-ilmu yang yang fisik-empiris maupun nonfisik atau metafisik. Perbedaan keduanya terletak pada persoalan batasan-batasan objek. Jika dalam ilmu objek refleksinya meliputi hal-hal yang fisik dan non-fisik, tetapi bagi sains, objek refleksinya terbatas pada hal-hal yang fisik saja. Maka, pembahasan-pembahasan mengenai Tuhan, ruh, malaikat, serta apapun yang mengandung unsur-unsur spritiual akan ditolak dan tidak akan menjadi konsentrasi sains. Hal ini yang kemudian membuat sains terlihat sangat sekuler.
Berikutnya Mulyadhi Kartanegara menjelaskan mengenai Sains, Filsafat, dan Agama . Dijelaskan pula bahwa pengetahuan para saintifik tentang alam semesta memberikan pengetahuan yang luar biasa tentang struktur kosmik fisik, tetapi yang disayangkan adalah karena kecenderunganya yang kuat terhadap sekularisme yang mereduksi dimensi spiritual alam dan manusia sehingga tidak cukup memberi posisi yang bermakna bagi manusia dalam tatanan kosmik. Maka dari itu filsafat dan agama dibutuhkan untuk menyempurnakan pandangan dunia yang lebih komprehensif sehingga manusia akan menemukan kembali posisinya yang agung dalam kosmos, yang selama ini telah disingkirkan oleh sains.
Ia berpendapat bahwa sains tidak memberikan sedikitpun ruang terhadap objek non-fisik, tetapi filsafat dan agama sama-sama memberikan tempat bagi objek-objek fisik dan non-fisik dalam kajian epistemologi. Misalnya, filsafat memberikan kedudukan atau posisi sentral terhadap manusia sebagai mikrokosmos. Dan agama memberikan posisi kepada manusia sebagai wakil Tuhan di bumi. Baik filsafat dan agama telah memberikan kedudukan sentral bagi manusia.
Tidak hanya itu, filsafat dan agama juga memandang betapa pentingnya unsur-unsur spiritual seperti Tuhan, ruh manusia, dan malaikat. Beberapa filsuf terkemuka pernah menyajikan pemikiran mereka tentang integrasi antara yang fisik dan non fisik. Salah satu dari mereka adalah Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dengan teori emanasi, kedua filsuf ini bermaksud menunjukkan bahwa ada kesatuan atau setidak-tidaknya ada hubungan sebab akibat antara hal fisik (materiil) dengan yang metafisik (immaterial). Dalam puncak rentetan emanasinya, Tuhan dijadikan satu-satunya penyebab dari kelahiran alam semesta dan seluruh isinya.
Paling tidak ada dua pertanyaan yang tidak bisa ditinggalkan dalam setiap sistem epistemologi manapun: pertama, apa yang dapat kita ketahui? Kedua, bagaimana mengetahuinya? Dimana yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu, sementara yang kedua pada metodologi.
Pertanyaan apa yang dapat kita ketahui? Epistemologi Barat memberikan jawaban bahwa yang dapat kita ketahui adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi secara indrawi. Hal-hal lain yang bersifat nonindrawi, nonfisik dan metafisik tidak termasuk ke dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah. Sedanngkan dalam epistemologi Islam kita bisa mengetahui tidak sebatas pada obyek-obyek fisik namun juga nonfisik. Sehingga dalam menentukan keberadaan sesuatu atau status ontologis sesuatu Barat hanya percaya pada benda-benda yang dapat dicerap oleh indra dan cenderung menolak status ontologis dari entitas-entitas nonfisik seperti ide-ide matematika, konsep-konsep mental dan entitas-entitas imajinal dan spiritual. Berbeda dengan Barat, Islam mengakui status ontologis tidak terbatas pada obyek-obyek indrawi melainkan juga obyek-obyek nonindrawi.
Untuk pertanyaan kedua, berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan yang pertama metode ilmiah yang dikembangkan oleh para pemikir dan filosuf Barat hanya menggunakan satu metode yaitu metode observasi. Sementara Islam menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki obyek-obyeknya, yaitu (1)metode observasi, (2)metode logis atau demonstratif (burhani) (3)metode intuitif (irfan) yang masing-masing bersumber pada indra akal dan hati. Setiap cabang ilmu yang dihasilkan oleh epistemologi tidak akan pernah mencapai status ilmiah yang pas kecuali status ontologis obyeknya jelas dan dapat diakui.
Berdasarkan uraian di atas jelas klasisfikasi ilmu yang ada di Barat akan selalu didasarkan pada satu hal yaitu empiris-observatif ditambah dengan bidang ilmu matematika, tapi secara tegas menolak bidang metafisika yang obyek-obyeknya sering dipandang tidak riil dan ilusif. Sedangkan dalam Islam yang mengakui adanya status ontologis yang tidak terbatas pada fisik-empiris melainkan juga yang nonempiris atau metafisis, dalam teori pengetahuan Islam ilmu dibagi menjadi tiga klasifikasi yaitu: ilmu-ilmu metafisika, ilmu-ilmu matematika, dan ilmu-ilmu alam atau fisik.
Pengalaman mistik dianggap penting tidak hanya oleh kalangan sufi, tetapi juga bagi para filosof dan ilmuan muslim yang menganggap esensial pengalaman mistik sebagaimana pengalaman sensual dan rasional oleh para filosof dan ilmuan muslim. Sebagai mana pengalaman sensual yang amat penting dalam memperoleh pengetahuan fisik, demikian juga halnya dengan pengalaman mistik yang dibutuhkan untuk memahami struktur kosmik dan dalam menyusun sebuah kosmologi sebagai peta perjalanan yang akan memberi arah atau orientasi ke mana seorang manusia harus pergi dan kembali.
Selain beberapa hal yang telah dijelaskan diatas tentang sumber pengetahuan dalam epistemologi Islam, pengalaman mistik, penalaran rasional dan filsafat kenabian dalam teori pengetahuan Islam juga termasuk sumber pengetahuan. Bukan bermaksud membenci atau anti sains Barat, begitulah pembelaan yang diungkapkan Mulyadhi dalam kajian buku pengantar epistemologi ini, dan baginya tidak lain hanya mencoba bersikap kritis dan apresiatifnya terhadap sains Barat.
Menurut Mulyadhi Kartanegara, ilmu tidak bisa betul-betul netral dan bebas nilai, terbukti dari adanya naturalisasi ilmu yang telah terjadi sepanjang sejarah. Naturalisasi ilmu, dalam arti pengadaptasian atau asimilasi ilmu-ilmu yang datang dari luar ke dalam bingkai budaya sebuah bangsa atau peradaban telah, dalam kongkretnya, mengambil bentuk dalam apa yang disebut Helenisasi ilmu, kristenisasi (pembaptisan) ilmu, Islamisasi ilmu, westernisasi ilmu. Dengan demikian, merupakan sebuah proses yang wajar kalau ilmu yang diperoleh dari Barat diadaptasi dan diasimilasi kembali ke dalam nilai-nilai budaya dan religius Islam dalam apa yang disebut Islamisasi sains.
Islamisasi sains harus dipahami bukan sebagai upaya pembelaan sains dengan ayat-ayat Al-Quran atau Hadits, atau apa yang sering disebut Bucailan model, tetapi bekerja pada tinggkat epistemologis yang meliputi pembahasan tentang status ontologis objek-objek ilmu, sistem klasifikasi ilmu sampai meliputi ilmu-ilmu fisika, matematika dan metafisika serta metode ilmiah yang meliputi metode eksperimen (tajribi), demonstratif (burhani) dan intuitif (irfani).
Dengan jalan membandingkannya dengan epistemologi lain yang dalam hal ini adalah epistemologi Islam yang diharapkan mampu melahirkan teori pengetahuan yang lebih baik atau sering kita harapkan yaitu munculnya epistemologi alternatif. Buku pengantar yang ditulis atas paling tidak menjadi terobosan awal dalam kajian epistemologi (teori pengetahuan) yang di negeri ini masih sangat minim dan belum mapan. Dimana dengan mengkaji teori pengetahuan secara kritis dan komprehensif serta komparatif nantinya diharapkan mampu melahirkan teori pengetahuan alternatif yang lebih baik.
Kelebihan
- Meskipun tidak terlalu tebal namun pembahasan didalamnya sangat mudah dipahami dan dipelajari.
- Buku ini menguunakan bahasa yang mudah dipahami serta terdapat contoh dan gambaran sehingga sangat mudah dipahami terutama untuk yang baru belajar mengenai epistemologi.
- Didalamnya banyak sekali menjelaskan tentang bagaimana pandangan penulis tentang apa yang sedang dibahas dan didukung dengan pendapat-pendapat dari para ahli lainb sehingga lebih menguatkan.
Kelemahan
- Terkadang penjelasan yang digunakan terkesan berputar-putar sehingga menyulitkan untuk menyimpulkan.
- Penggunaan tanda baca yang kadang membingungkan pembaca
Sebagai pengantar epistemologi islam buku ini layak dibaca meskipun dengan halaman yang tidak terlalu tebal namun pembahasan yang diberikan sangat luar biasa. Serta sebagai motivasi bagi para calon filosof dan saintis muslim terutama di indonesia yang memajukan epistemologi Islam sebagai suatu cabang ilmu yang menjadi Alternatif baru dunia ilmu pengetahuan serta membuka Cakrawala pandang kita bahwa islam memiliki pengetahuan yang luar biasa yang belum dikaji secara mendalam.
COMMENTS