Monster Kampung dan Bola Hijau (CERPEN)

Besok Bulan Syaban meninggalkan kampung kami. Serba-serbi menyambut bulan nan suci sudah lama terlihat di kampung ini. Dimulai spanduk ucapan selamat menunaikan ibadah puasa dari instansi dan para calon legislatif yang terpasang di setiap lorong. Iklan-iklan sirup di televisi yang begitu menggoda tidak pernah absen untuk satu bulan kedepan. Tak ketinggalan juga ketua masjid kami, Haji Dolet dan pengurus lainnya sedang mempersiapkan fasilitas untuk warga kampung yang akan menunaikan Shalat Taraweh malam nanti. Dan kami sibuk berdiskusi menyusun rencana untuk malam nanti.

Monster Kampung dan Bola Hijau
“Dedek..., ayo pulang”
 “Iya Umi” sahutku membalas panggilan Umi.
Aku langsung bergegas mengambil kelereng dan meninggalkan teman-temanku.
“Hei Saddam ! itu punyaku” teriak Wahyu, keningnya menampakkan
lipatan-lipatan ombak.
Tanpa sengaja aku mengambil kelereng milik Wahyu.
“Ini, maaf” Aku melempar dua buah kelereng warna putih susu dari kejauhan.
Hari itu langit sore terlihat kemerah-merahan, jingga. Kesibukan warga kampung mulai lengang. Yang terlihat hanya sebagian orang saja. Itupun mereka sedang menuju kerumah masing-masing. Ku lihat juga Mbah Karno sedang menutup warungnya. Sering kali aku ke warungnya hanya untuk mendengarkan cerita rakyat negeri ini dari Mbah Karno. Cahaya matahari senja jatuh menimpa wajah Umi. Nampak berseri. Kuraih tangan kanan Umi. Umi tersenyum lembut melihat tingkahku itu.
Selepas Sholat Magrib di masjid. Lazimnya anak-anak kampung, aku dan teman-temanku belajar mengaji. Entah kenapa suasana hati kami saat ini cukup baik. Biasanya kami bolos saat tibanya sabtu malam. Bermain petak umpet dibawah sinar rembulan, mencari kunang-kunang, mengambil buah jambu biji di kebun Haji Dolet yang saban hari Wahyu jatuh dari atas pohon yang cukup tinggi sempat membuat dirinya tak sadarkan diri. Kami semua dibuat panik. Dengan sigap kami semua mendekati Wahyu. Entah apa yang harus kami perbuat. Hening. Selang beberapa menit ia bangkit. “Haaa...!,haaaa...!!” dengan suara berat dan gemetar. Itu kalimat pertama yang dikeluarkan dari mulut Wahyu. Diulang-ulangnya sambil kedua tangannya menjulur kedepan. Matanya melotot. Kalang kabut kami dibuatnya. Berlari tak tentu arah melihat tingkah aneh Wahyu. Mungkin yang kami fikirkan waktu itu Wahyu sudah kerasukan Setan Alas. Aku berteriak minta tolong. Tak sengaja aku menengok ke belakang. Kulihat Wahyu tertawa lebar. Terbahak-bahak melihat kami yang ketakutan. Sialan! umpatku dalam hati.
Besok Bulan Syaban meninggalkan kampung kami. Serba-serbi menyambut bulan nan suci sudah lama terlihat di kampung ini. Dimulai spanduk ucapan selamat menunaikan ibadah puasa dari instansi dan para calon legislatif yang terpasang di setiap lorong. Iklan-iklan sirup di televisi yang begitu menggoda tidak pernah absen untuk satu bulan kedepan. Tak ketinggalan juga ketua masjid kami, Haji Dolet dan pengurus lainnya sedang mempersiapkan fasilitas untuk warga kampung yang akan menunaikan Shalat Taraweh malam nanti. Dan kami sibuk berdiskusi menyusun rencana untuk malam nanti.
Mbah Karno sudah berdiri paling depan menghadap kiblat. Siap memimpin Shalat Isya. Sejenak melihat ke kanan ke kiri. Jemaah sudah berjejer rapi. Masjid padat disesaki jemaah. Sementara aku dan teman-teman masih asyik berwudhu.
“Allahu Akbar...”
Shalat Isya segera dimulai. Kami segera berlarian masuk ke masjid dengan pakaian yang basah. Bukan karena wudhu. Tetapi karena bermain perang air dari keran masjid. Lalu berdiri di shaf paling belakang. Tidak butuh menunggu sampai empat rakaat selesai, kami sudah merencanakan sesuatu. Aku melirik Wahyu dan teman-temanku yang lain. Rencananya pun cukup sederhana. Secepat mungkin keluar dan selama itu pula kami bermain. Aku pun mengendap-ngendap keluar disusul Wahyu dan temanku yang lain . Saat jemaah sedang takhiyat awal, langkah kami pun sudah keluar dari masjid. Bermain di lapangan dekat kebun Haji Dolet merupakan tempat yang pas menurut kami untuk bermain bola kasti. Jika kami lelah bermain, kami tak segan-segan mengambil buah yang berada di kebun Haji Dolet. Kebunnya yang luas dengan bermacam-macam buah. Kami fikir tak akan habis bila kami memetik sekedar satu-dua buah saja. Akan tetapi, yang kami takutkan ialah jika mendekati sebuah rumah tua berbentuk panggung dan berdinding kayu dengan dilatarbelakangi hutan lebat. Tidak jauh dari kebun. Pernah kami mendengar cerita warga kampung, disana ada penunggunya. Monster. Orang-orang biasa menyebutnya monster. Nekat kesana berarti sama saja menyambut mimpi buruk. Melewatinya saja kami harus terpaksa menutup mata. Tidak ingin melihat apa yang diceritakan orang-orang.
Permainan pun dimulai. Dimana kami harus mengambil bola berwarna hijau yang seukuran tangan kami dengan cara memperebutkannya. Setelah bola ditangan, secepat mungkin bola itu harus mengenai anggota tubuh salah satu pemain.
“Rasakan ini!” teriak Wahyu saat mendapat bola.
Dengan ancang-ancang sekuat tenaga ia melemparkan bola di tangannya ke arahku yang sedang berlari menjauh. Seketika bola itu lepas dari tangan Wahyu. Bola itu sekarang sudah diatas angin. Sepersekian detik sudah menuju di kepalaku. Bukk. Suara itu terdengar di kepalaku.
“Aduh...” pekikku mengaduh. Sambil memegang kepala menahan rasa sakit lalu berusaha mencari bola yang memantul dari kepalaku tadi.
“Disana Dam” Wahyu menunjuk kearah rumah terlarang itu.
Aku langsung menuju kesana. Tanpa disadari, aku sudah di depan pintu  rumah tua itu. Tampak gelap karena tidak ada penerangan lampu. Walaupun ukuran rumahnya kecil tapi terlihat tidak terawat. Rumput tumbuh dengan leluasa, menambah kesan angker. Aku lupa akan cerita yang menjadi momok menakutkan untuk usia kami.
Kakiku berat seketika. Aku merasa kaki ini tertancap ke dalam tanah. Aku mengelap keringat di dahi. Melihat aku terdiam dan membisu, Wahyu dan teman-teman yang lain berlarian mendekat. Mungkin baru sadar dan tahu persis apa yang membuatku berdiam diri disana. Sekarang kami sama-sama terdiam.
“Bagaimana nih, bolanya pas banget didepan pintu sana” cemasku, sambil menunjuk bola.
 Kami semua menghela nafas panjang. Saling menatap. Tak tahu apa yang kami harus lakukan sekarang.
 Kreek.. seperti ada orang yang akan membukakan pintu.  Kami melihat samar-samar sosok di dalam gelap. Makin lama makin tampak seperti tangan manusia. Desiran jantung berdetak kencang sangat jelas terdengar. Suhu udara tiba-tiba menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Bulu tangan ini berdiri. Seakan sebuah isyarat bahwa kami harus pergi dari tempat ini. Tanpa fikir panjang kami langsung berlari.
“Monster.....!! monster.....!!!” teriak kami bergantian.
Tanpa di beri aba-aba lagi kami serentak kembali masuk ke masjid. Duduk dibarisan belakang. Nafas kami masih tersenggal-senggal. Tak percaya apa yang kami lihat tadi.
Tiba di penghujung rangkaian Sholat Taraweh. Aku bergegas kedepan mengikuti antrian. Antrian salam-salaman. Di mulai dari Mbah Karno. Sampailah ke tangan Abi. Abi melihatku bermandikan keringat. Mungkin Abi sudah tahu kalau anak tunggalnya ini pasti habis bermain.
Keesokan harinya. Puasa perdana untuk warga kampung. Termasuk juga aku. Walaupun saat sahur tadi Umi susah payah untuk membangunkanku.
Matahari pagi tak bersahabat dengan kami. Sinarnya menyengat kulit. Kata orang-orang terdahulu sinar matahari pagi menyehatkan. Walaupun masih terbilang pagi.
Kami sudah berkumpul di lapangan. Sudah satu jam hanya duduk-duduk saja. Memikirkan bagaimana mengambil bola hijau itu tanpa terlihat monster.
Wahyu tak terima bila bola hijau kesayangannya harus hilang. Jadi, inilah alasan sejak jam 9 pagi tadi Wahyu bersusah payah menjemput kami semua hanya untuk mengambil bola hijaunya.
Dengan sangat hati-hati kami meluncur ke rumah tua itu. Layaknya pahlawan-pahlawan hero yang siap melenyapkan monster. Di pimpin langsung oleh Wahyu. Kayu, batu hingga ranting pohon sudah siap kami genggam. Panas matahari seakan tidak ketinggalan menyambut langkah kami. Sesampai di depan rumah kulihat tidak ada aktifitas yang mencurigakan di dalam sana.  Kami melihat dengan heran, bola hijau tidak ada lagi di depan pintu. Kami mendekat dengan pelan-pelan. Mata ini bak elang yang siap menerkam buruannya. Tak terlewatkan setiap sekitar rumah monster kami jelajah, kalau saja bola hijau malam tadi sudah pindah tempat. Tangan masih memegang alat tempur. Akhirnya kami sampai bagian dapur rumah itu yang berada dibelakang rumah. Ada sekatnya menyakinkanku bahwa itu juga wc si monster itu. Kulihat disana juga ada ember yang berisikan air. Aku bersama yang lainnya memberanikan diri untuk masuk ke dapur monster itu. Aku milirik ke Wahyu dan yang lainnya.
“Dam, aku takut nih kita pulang saja yuk”cemas Wahyu. Kulihat kakinya sudah gemetar.
“Jangan takut, mana ada monster di siang hari, apalagi ini bulan puasa kan” kataku menenangkan suasana.
Belum sempat kami melangkah lebih jauh, tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara tumpukan botol dan kaleng.
“Ini yang kalian cari kan?” tanya orang itu sambil memberikan bola hijau Wahyu.
Pelan-pelan kami melihat dari ujung kaki. Kakinya sama seperti manusia biasa pada umumnya. Kami telusuri hingga keatas. Badannya kurus dan sekitar kulitnya yang hitam terdapat bintik-bintik merah. Pakaiannya lucek dan penuh sobekan. Sampai kami melihat ada benjolan daging yang bergantung di pipi kanan wajahnya. Rambutnya gimbal.
“Lari......” teriak Wahyu.
Kami serentak lari tunggang langgang. Meninggalkan monster dan bola hijau. Kaki hingga seluruh badan yang gemetar pun tak jadi halangan untuk berlari sekencang-kencangnya. Alat tempur yang kami bawa pun tak tahu lagi rimbanya. Tanpa memikirkan Wahyu dan temanku yang lainnya aku menuju ke rumah.  Umi melihatku masuk tanpa mengucapkan salam lalu melihatku langsung masuk ke kamar. Mengambil selimut dan menutupi seluruh badanku. Bukannya semakin membaik malah semakin gemetar hingga keringat keluar dengan derasnya. Umi langsung masuk kamar lalu menanyakan perihal keadaanku sekarang. Aku hanya bisa diam saja. Tidak menjawab setiap pertanyaan Umi.
Hari itu warga kampung gempar. Orangtua dari enam anak di kampung mengalami keadaan yang aneh. Seharusnya hari pertama menyambut bulan suci dengan bersuka cita menjadi riuh di buat oleh kami. Kami di kumpulkan di  rumah Mbah Karno. Sebagai tokoh masyarakat dan tokoh agama di kampung ini. Beliau lebih paham masalah yang menimpa kami. Dilihatnya satu-persatu. Lalu kami diberi minum yang telah dibacakan do’a-do’a. Kata Mbah Karno kami hanya mengalami ketakutan yang berlebihan saja. Tidak ada sesuatu hal yang membahayakan kami.
Semenjak kejadian itu, datang berita baik dan berita buruk. Berita buruknya datang untukku dan teman-temanku yang lain. Jatuh sakit selama tiga hari. Dan berita baiknya datang untuk Haji Dolet. Karena kami berjanji dalam hati tidak akan berani lagi bermain di sekitar kebunnya.
Bagaimana kabar bola hijau Wahyu? Ya bola hijau dan monster sama-sama kami lupakan. Mengingat bola hijau sama halnya mengingat monster itu juga.


TENTANG PENULIS
Angga Karlianto
Angga Karlianto, lahir di Lubuklinggau, Sumatera Selatan, pada tanggal 20 Januari 1995. Penulis adalah alumni Madrasah Aliyah Negeri 2 Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Saat ini, tercatat sebagai mahasiswa semester akhir Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Sains dan Teknologi di Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.
Saat ini, penulis masih aktif mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Kampus (UKMK) LDK Refah UIN Raden Fatah Palembang sebagai anggota Departemen Media.
Penulis bisa dihubungi melalui hp: 08972004170, email: anggakarlianto@gmail.com

COMMENTS

Name

1000 Masjid,2,Belajar,53,Ceritaku,41,Cinta,3,Diri,13,Gaya Hidup,4,Hiburan,11,Islam,6,Komunikasi,20,Manajemen,9,Motivasi,27,Psikologi,2,Public relations,15,Sahabat,5,Sosial,13,Tips,33,Travel,4,Trending,9,Tutorial,2,
ltr
item
Catatan Sinine: Monster Kampung dan Bola Hijau (CERPEN)
Monster Kampung dan Bola Hijau (CERPEN)
Besok Bulan Syaban meninggalkan kampung kami. Serba-serbi menyambut bulan nan suci sudah lama terlihat di kampung ini. Dimulai spanduk ucapan selamat menunaikan ibadah puasa dari instansi dan para calon legislatif yang terpasang di setiap lorong. Iklan-iklan sirup di televisi yang begitu menggoda tidak pernah absen untuk satu bulan kedepan. Tak ketinggalan juga ketua masjid kami, Haji Dolet dan pengurus lainnya sedang mempersiapkan fasilitas untuk warga kampung yang akan menunaikan Shalat Taraweh malam nanti. Dan kami sibuk berdiskusi menyusun rencana untuk malam nanti.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1ZtkaB6P7WfK9zf5-IqbYKKMk2vSTKLKQv_J57zxst-qbB041tgwi5Rc97JsDtcmC2rgLbxervwkISzHNaWB44R_w7P6taSLaoDNF11OwwNDQbmPjQoFUhl9P1P6rgya2XNO0d3Fu-m40/s320/monster+kampung+dan+bola+hijau.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1ZtkaB6P7WfK9zf5-IqbYKKMk2vSTKLKQv_J57zxst-qbB041tgwi5Rc97JsDtcmC2rgLbxervwkISzHNaWB44R_w7P6taSLaoDNF11OwwNDQbmPjQoFUhl9P1P6rgya2XNO0d3Fu-m40/s72-c/monster+kampung+dan+bola+hijau.jpg
Catatan Sinine
https://catatansinine.blogspot.com/2017/06/monster-kampung-dan-bola-hijau.html
https://catatansinine.blogspot.com/
https://catatansinine.blogspot.com/
https://catatansinine.blogspot.com/2017/06/monster-kampung-dan-bola-hijau.html
true
6835835787765942029
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy